Jumat, 22 November 2019

TUGAS KONTRAK PADA KONSTRUKSI


BENTUK KONTRAK
Berdasarkan Pasal 55 ayat (1) bentuk Kontrak terdiri atas:
·                Bukti pembelian/pembayaran, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa Lainnya dengan nilai paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
·                Kuitansi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa Lainnya dengan nilai paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
·                Surat Perintah Kerja (SPK), sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c digunakan untuk Pengadaan Jasa Konsultansi dengan nilai paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), Pengadaan Barang/Jasa Lainnya dengan nilai paling sedikit di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan nilai paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dan Pengadaan Pekerjaan Konstruksi dengan nilai paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
·                Surat perjanjian, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d digunakan untuk Pengadaan Barang/ Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dengan nilai paling sedikit di atas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan untuk Pengadaan Jasa Konsultansi dengan nilai paling sedikit di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
·                Surat pesanan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa melalui E-Purchasing dan pembelian secara online.

SYARAT KONTRAK
Dalam kontrak kerja konstruksi pada umumnya merupakan kontrak bersyarat yang meliputi:
·                Syarat validitas, merupakan syarat berlakunya satu perikatan
·                Syarat waktu, merupakan syarat yang membatasi berlakunya kontrak tersebut. Hal ini berkaitan dengan sifat proyek yang memiliki batasan waktu dalam pengerjaannya.
·                Syarat Kelengkapan, merupakan syarat yang harus dilengkapi oleh satu atau kedua pihak sebagai prasyarat berlakunya perikatan bersyarat tersebut. Kelengkapan yang dimaksud dalam kontrak kerja konstruksi, diantaranya kelengkapan desain, kelengkapan gambaran dan kelengkapan jaminan.

HARGA TIDAK WAJAR, HARGA MENYIMPANG, HARGA TIMPANG
Definisi Harga Timpang. Pasal 92 ayat 1 Perpres 54/2010 dan seleuruh perubahannya (Perpres 54/2010) menyebutkan bahwa Penyesuaian Harga dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
·         Penyesuaian harga diberlakukan terhadap Kontrak Tahun Jamak berbentuk Kontrak Harga Satuan berdasarkan ketentuan dan persyaratan yang telah tercantum dalam Dokumen Pengadaan dan/atau perubahan Dokumen Pengadaan.
·         Tata cara perhitungan penyesuaian harga harus dicantumkan dengan jelas dalam Dokumen Pengadaan.
·         Penyesuaian harga tidak diberlakukan terhadap Kontrak Tahun Tunggal dan Kontrak Lump Sum serta pekerjaan dengan Harga Satuan timpang.
·         Penjelasan pasal 92 ayat 1 Huruf c : Harga Satuan timpang adalah Harga Satuan penawaran yang melebihi 110% dari Harga Satuan HPS, setelah dilakukan klarifikasi.
Untuk definisi tentang Harga Timpang, sudah sangat jelas dalam penjelasan pasal 92 ayat 1 huruf c, yaitu Harga Satuan Penawaran yang memenuhi syarat:
·         Harga Satuan Penawaran melebihi 110% dari Harga Satuan HPS
·         Telah diklarifikasi dan disetujui kepada si pemilik penawaran.
Jika tidak memenuhi 2 hal ini maka tidak dapat dikatakan sebagai harga timpang. Sehingga jika dibuat ilustrasi tabel yang dimaksud harga satuan timpang adalah :

Potensi Harga Timpang ada pada Harga Satuan Penawaran dibandingkan dengan Harga Satuan HPS sebelum menjadi Harga Satuan Kontrak. Akan diakui sebagai Harga Timpang jika disepakati dan siap untuk dijadikan Harga Satuan Kontrak antara PPK dan Penyedia. Inilah harga yang diperjanjikan sejak awal dalam dokumen pengadaan barang/jasa. Kenapa Harga Timpang harus diklarifikasi dan disetujui? Agar sebelum kontrak ditandatangani semua pihak sadar betul akibat yang diperjanjikan ketika terjadi Harga Timpang.
Harga Satuan Timpang adalah Harga yang Wajar
Pasal 66 ayat 5 huruf a menyatakan bahwa HPS digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran penawaran termasuk rinciannya. Jadi Penawaran yang wajar adalah:
Harga Penawaran (Total) nya “sah”. Harga Penawaran yang Sah adalah yang Total Harga Penawaran-nya tidak melebihi HPS (Total HPS) Pasal 66 ayat 5 huruf b.
Harga penawaran (Total) dibawah 80% HPS yaitu harga penawaran yang kewajaran harganya benar dan telah diklarifikasi, kemudian penyedia bersedia menaikkan jaminan pelaksanaan pekerjaan menjadi 5% dari HPS, Pasal 66 ayat 5 huruf c dan Permenpu 7/2011 sebagaimana diubah dengan Permenpu 31/2015.
Tidak ada sama sekali klausul peraturan yang menyebutkan kewajaran harga dinilai dari Harga Satuan! Dengan demikian terdapatnya Harga Satuan Timpang dalam Total Harga Penawaran tidak dapat dijadikan dasar mengatakan bahwa harga penawaran adalah tidak wajar. Termasuk juga sangat tidak beralasan kalau ada yang menyimpulkan Harga Satuan Timpang adalah harga yang tidak wajar sehingga perlu dinegosiasi atau diklarifikasi untuk diturunkan senilai harga satuan HPS.
Patut juga dicermati logika dasar kenapa Harga Timpang adalah harga yang wajar. Yaitu karena Harga Timpang adalah satu keniscayaan atau satu hal yang sangat-sangat mungkin terjadi. Seperti disebutkan dalam Perpres 54/2010 pasal 66 ayat 3 bahwa Nilai total HPS bersifat terbuka dan tidak rahasia sedang Rincian Harga Satuan dalam perhitungan HPS bersifat rahasia, kecuali rincian harga satuan tersebut telah tercantum dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DIPA/DPA).
Ketika rincian Harga Satuan HPS adalah rahasia maka sangat mungkin sekali Harga Satuan Penawaran akan lebih rendah atau lebih tinggi dibanding harga satuan HPS. Ketika kemungkinan ini dapat saja terjadi dan sudah diatur melalui peraturan perundangan, maka terjadinya Harga Timpang bukanlah dosa yang kemudian harus diharamkan.

Perlakuan Terhadap Harga Satuan Timpang
Ketika Harga Timpang telah disepakati menjadi bagian kontrak maka meleburlah harga timpang tersebut menjadi Harga Satuan Kontrak dimana didalamnya terdapat perlakuan-perlakuan yang telah disepakati dalam dokumen pengadaan.
Lalu bagaimana semestinya perlakuan terhadap Harga Timpang? Perlakuan terhadap Harga Timpang ini tentunya harus tertuang secara jelas dalam Dokumen Pemilihan yang disusun pengguna jasa, dalam hal ini PPK, dan dituangkan oleh Pokja ULP.

SHOW CAUSE MEETING (SCM)
Bagi mahasiswa teknik sipil dan para pekerja konstruksi harus tahu istilah dari pengertian Show Cause Meeting (SCM). SCM secara deinitif diartikan sebagai Rapat Pembuktian. Dan yang akan kita bahas disini adalah Rapat Pembuktian Keterlambatan pada pekerjaan konstruksi. Keterlambatan tersebut bisa terjadi karena kendala dari segi material/bahan, kurangnya pekerja dilapangan dan kondisi alam.
Show Cause Meeting (SCM) diadakan oleh Pejabat Dinas terkait dalam hal ini Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Rapat diadakan dikarenakan adanya kondisi kontrak kerja yang dinilai kritis dan berpotensi waktu pelaksanaan tidak sesuai dengan jadwal penyelesaian pekerjaan yang telah dibuat.
Karena kontrak dinyatakan kritis dalam hal penanganan pekerjaan, maka kontrak kritis harus dilakukan dengan rapat pembuktian SCM. Pejabat Dinas dalam hal ini PPK harus memberikan peringatan tertulis atau dikenakan ketentuan tentang kontrak kritis kepada kontraktor mengenai keterlambatan dalam melaksanakan pekerjaan.

A.   Ketentuan Kontrak Kritis sebagai berikut:
Sesuai dengan Permen PU No. 07/PRT/M/2011 Buku PK 06A-BAB VII B6 Angka 39.2, kontrak dinyatakan kritis apabila:
1.    Periode I (rencana fisik pelaksanaan 0% - 70% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 10% dari rencana.
2.    Periode II (rencana fisik pelaksanaan 70% - 100% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 5% dari rencana.
3.    Rencana fisik pelaksanaan 70% - 100% dari kontrak, realisasi fisik pelaksanaan terlambat kurang dari 5% dari rencana dan akan melampui tahun anggaran berjalan.

B.   Penanganan Kontrak Kritis sebagai berikut:
Penanganan Kritis Periode I dan Periode II
1.    Pada saat kontrak dinyatakan kritis, Direksi pekerjaan menerbitkan surat peringatan kepada kontraktor/penyedia dan selanjutnya menyelenggarakan Show Cause Meeting (SCM).
2.    Dalam SCM PPK, Direksi pekerjaan, direksi teknis dan penyediah membahas dan menyempakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh Penyediah dalam periode waktu tertentu (uji coba pertama) yang dituangkan dalam Berita Acara SCM Tingkat Pertama.
3.    Apabila penyediah gagal pada uji coba pertama, maka dilaksanakan SCM II yang membahas dan menyempakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh Penyedia dalam periode waktu tertentu (Uji coba kedua) yang dituangkan dalam Berita Acara SCM II.
4.    Apabila Penyedia gagal pada uji coba tahap kedua, maka diselenggarakan SCM III yang membahas dan menyempakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh Penyedia dalam periode waktu tertentu (uji coba ketiga) yang dituangkan dalam Berita Acara SCM III. 
5.    Pada setiap uji coba yang gagal, PPK harus menerbitkan surat peringatan kepada Penyedia atas keterlambatan realisasi fisik pelaksanaan pekerjaan.
Dalam hal setelah diberikan SCM III yaitu Rencana fisik pelaksanaan 70 % - 100 % dari kontrak, realisasi fisik pelaksanaan terlambat kurang dari 5 % dari rencana dan akan melampui tahun anggaran berjalan dan penyedia tidak mampu memenuhi kemajuan fisik yang sudah ditetapkan, PPK melakukan rapat bersama atasan PPK sebelum tahun anggaran berakhir, dengan ketentuan:
1.      PPK dapat memberikan kesempatan untuk menyelesaikan sisa pekerjaan paling lama 50 (lima puluh) hari kalender dengan ketentuan, penyedia secara teknis mampu menyelesaikan sisa pekerjaan paling lama 50 (lima puluh) hari kalender.
2.      PPK dapat langsung memutuskan kontrak secara sepihak dengan mengesampingkan pasal 1266 kitab Undang-Undang Hukum Perdata; atau
3.      PPK dapat menunjuk pihak lain untuk melaksanakan pekerjaan. Pihak lain tersebut selanjutnya dapat menggunakan bahan/peralatan, dokumen kontraktor, dokumen desain yang dibuat oleh atau atas nama penyedia. Seluruh biaya yang timbul dalam pelaksanaan pekerjaan pihak lain sepenuhnya menjadi tanggung jawab penyedia berdasarkan kontrak awal.

Detail Enginering Design
Detail Engineering Design (DED) dalam Pekerjaan Konstruksi dapat diartikan sebagai produk dari konsultan perencana, yang biasa digunakan dalam membuat sebuah perencanaan (gambar kerja) detail bangunan sipil seperti gedung, kolam renang, jalan, jembatan, bendungan, dan pekerjaan konstruksi lainnya.
Detail Engineering Design (DED) bisa berupa gambar detail namun dapat dibuat lebih lengkap yang terdiri dari beberapa komponen seperti di bawah ini:
·                     Gambar detail bangunan atau bestek bisa terdiri dari gambar rencana teknis. Gambar rencana teknis ini meliputi arsitektur, struktur, mekanikal dan elektrikal, serta tata lingkungan. Semakin baik dan lengkap gambar akan mempermudah proses pekerjaan dan mempercepat dalam penyelesaian pekerjaan konstruksi.
·                     Rencana Anggaran Biaya atau RAB adalah perhitungan keseluruhan harga dari volume masing-masing satuan pekerjaan. RAB dibuat berdasarkan gambar. Kemudian dapat dibuat juga Daftar Volume Pekerjaan (Bill of Quantity) serta spesifikasi dan harga. Susunan dari RAB nantinya akan direview, perhitungannya dikoreksi dan diupdate harganya disesuaikan dengan harga pasar sehingga dapat menjadi Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
·                     Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS) ini mencakup persyaratan mutu dan kuantitas material bangunan, dimensi material bangunan, prosedur pemasangan material dan persyaratan-persyaratan lain yang wajib dipenuhi oleh penyedia pekerjaan konstruksi.
·                     RKS kemudian menjadi syarat yang harus dipenuhi penyedia sehingga dapat dimasukan ke dalam Standar Dokumen Pengadaan (SDP).
Setelah DED ini selesai akan dilanjutkan pada Tahap Pengadaan/Pelelangan (Procurement/Tender). Tujuan dari tahap ini adalah untuk menunjuk Kontraktor sebagai pelaksanan atau sejumlah kontraktor sebagai sub-kontraktor yang melaksanakan konstruksi di lapangan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah PRAKUALIFIKASI yang meliputi pemeriksaan sumber daya keuangan, manajerial dan fisik kontraktor yang potensial, dan pengalamannya pada proyek serupa, serta integritras perusahaan. Untuk proyek-proyek milik emerintah, Kontraktor yang memenuhi persyaratan biasanya dimasukkan ke dalam Daftar Rekanan Mampu (DRM) dan DOKUMEN KONTRAK, sebagai dokumen legal yang menguraikan tugas dan tangjung jawab pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Dokumen kontrak akan ada setelah terjadi ikatan kerjasama antara dua pihak atau lebih. Sebelum hal itu terjadi terdapat proses pengadaan atau proses pelelangan dimana diperlukan Dokumen lelang atau dokumen tender. Jika terjadi perubahan kontrak maka akan dilakukan Contract Change Order (CCO). Contract Change Order (CCO) adalah permintaan perubahan kontrak yang nantinya digunakan sebagai kuasa untuk mengubah ruang lingkup pekerjaan.
Berikut ini adalah tahapan penentuan CCO:

Melihat diagram diatas bisa kita fahami bahwa addendum dan amandemen adalah produk lanjutan dari proses CCO, jika terjadi CCO maka akan terjadi Addendum atau Amandemen sebaliknya jika terjadi Adedndum atau amandemen belum tentu di dahului oleh CCO, bila perubahan hanya menyangkut perubahan dokuem DKH, SSUK, SSKK, Spesifikasi  dan gambar namun tidak merubah pasal pada pokok perjanjian ada yang menyebut Addendum sedangkan ketika terjadi perubahan pasal pasal pada pokok perjanjian ada yang menyebutnya dengan amandemen, dengan pehaman lain dapat kita simpulkan kalau CCO dan Addendum pada perubahan sisi substansi pekerjaan sedangkan Amandemen pada sisi administrasi kontrak.
Pelaksanaan CCO sehingga menghasilkan Addendum ataupun Amandemen kontrak bukanlah sebuah proses sederhana. Proses perubahan ini banyak melibatkan pihak baik pada tahap pemeriksaan, penelitian sampai pada tahap persetujuanya, khususnya pada kontrak pekerjaan kontruksi. Sangat diperlukan analisis dan kajian yang komprehensif dalam tiap fase perubahan kontrak ini, untuk proses dan tahapan yang komplek PPK dapat dibantu oleh Tim Teknis/Tim Peneliti Kontrak.
Setidaknya ada 3 tahapan yang harus dilalui dalam proses perubahan kontrak yaitu :
1.         Identifikasi masalah dan pemeriksaan perubahan
2.         Pengujian dan penelitian
3.         Persetujuan dan panandatangan addendum kontrak
Tahapan identifikasi diperlukan karena tidak semua usulan perubahan kontrak ini dapat disetujui oleh pihak yang terkait dengan pengadaan dalam hai ini PA/KPA dan PPK, analisis biaya manfaat mutlak diperlukan dalam melakukan pertimbangan atas perstujuan perubahan dengan tetap mempertimbangkan dan memperhatikan pemenuhan terhadap ketentuan peraturan yang berlaku dan menggunakan prinsip prinsip pengadaan efektif, efesien, transparan dan akuntabel. Identifikasi perubahan sudah bisa dilakukan PPK dan Tim pada tahap awal pelaksanaan kontrak, Pre Contructtion Meeting (PCM) menjadi entri poin awal, karena ditahap ini akan terjadi kesepakatan-kesepakatan antara para pihak yang bertanda tangan di kontrak dengan pihak terkait lain, tentang kesesuaian kontrak dengan aturan ataupun perubahan kesepakatan lain yang belum tertuang dalam kontrak.
Selanjutnya ditahap pelaksanaan, Sow Contruction Meeting  (SCM) menjadi poin berikutnya dalam melakukan identifikasi perubahan perubahan yang mungkin terjadi  dalam pelaksanaan kontrak, proses pengendalian kontrak inilah yang mutlak dilakukan PPK selaku owner pekerjaan untuk menghasilkan output pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan atau pun akan melakukan perubahan kontrak dengan tetap mengedepankan prinsip prinsip pengadaan tadi.
Tahapan pengujian dan penelitian dilakukan PPK untuk melihat kesesuaian usulan perubahan dengan ketentuan yang berlaku, mulai dengan pengujian dengan pokok pokok perjanjian dalam kontrak, pengujian dengan aturan perpres dan petunjuk teknis serta pengujian dengan ketentuan terkait lainnya. Ditahap pengujian ketika ditemukan nanti item perubahan pekerjaan baru yang harus dikerjakan guna menyelesaikan seluruh pekerjaan,  namun harga satuan belum tertuang/tercantum dalam kontrak maka PPK harus membuat HPS baru yang dikalkulasikan secara keahlian berdasarkan data yang dapat dipertanggung jawabkan selanjutnya dilakukan negosiasi untuk item pekerjaan baru tersebut.
Setelah proses pengujian ini dilakukan barulah PPK bisa melakukan penandatanganan perubahan/Addendum kontrak, satu hal yang musti diingat adalah nilai perubahan maksimal pada saat terjadi perubahan kontrak adalah 10% dan ketersediaan anggaran. Sesuai dengan pasal 54 butir 2 peraturan presiden nomor 16 tahun 2018.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar