BENTUK KONTRAK
Berdasarkan Pasal
55 ayat (1) bentuk Kontrak terdiri atas:
·
Bukti pembelian/pembayaran, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk Pengadaan
Barang/Jasa Lainnya dengan nilai paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
·
Kuitansi, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa Lainnya dengan nilai paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
·
Surat Perintah Kerja (SPK), sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c digunakan untuk Pengadaan Jasa Konsultansi
dengan nilai paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), Pengadaan
Barang/Jasa Lainnya dengan nilai paling sedikit di atas Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) sampai dengan nilai paling banyak Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah), dan Pengadaan Pekerjaan Konstruksi dengan nilai paling
banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
·
Surat perjanjian, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d digunakan untuk Pengadaan Barang/ Pekerjaan Konstruksi/Jasa
Lainnya dengan nilai paling sedikit di atas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan untuk Pengadaan Jasa Konsultansi dengan nilai paling sedikit di
atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
·
Surat pesanan, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa melalui E-Purchasing dan
pembelian secara online.
SYARAT
KONTRAK
Dalam kontrak kerja konstruksi pada
umumnya merupakan kontrak bersyarat yang meliputi:
·
Syarat validitas, merupakan syarat
berlakunya satu perikatan
·
Syarat waktu, merupakan syarat
yang membatasi berlakunya kontrak tersebut. Hal ini berkaitan dengan sifat proyek
yang memiliki batasan waktu dalam pengerjaannya.
·
Syarat Kelengkapan, merupakan syarat yang harus dilengkapi
oleh satu atau kedua pihak sebagai prasyarat berlakunya perikatan bersyarat
tersebut. Kelengkapan yang dimaksud dalam kontrak kerja konstruksi, diantaranya
kelengkapan desain, kelengkapan gambaran dan kelengkapan jaminan.
HARGA TIDAK WAJAR, HARGA MENYIMPANG,
HARGA TIMPANG
Definisi Harga Timpang. Pasal 92 ayat 1
Perpres 54/2010 dan seleuruh perubahannya (Perpres 54/2010) menyebutkan bahwa
Penyesuaian Harga dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
·
Penyesuaian harga diberlakukan terhadap Kontrak Tahun Jamak
berbentuk Kontrak Harga Satuan berdasarkan ketentuan dan persyaratan yang telah
tercantum dalam Dokumen Pengadaan dan/atau perubahan Dokumen Pengadaan.
·
Tata cara perhitungan penyesuaian harga harus dicantumkan
dengan jelas dalam Dokumen Pengadaan.
·
Penyesuaian harga tidak diberlakukan terhadap Kontrak Tahun
Tunggal dan Kontrak Lump Sum serta pekerjaan dengan Harga Satuan timpang.
·
Penjelasan pasal 92 ayat 1 Huruf c : Harga Satuan timpang
adalah Harga Satuan penawaran yang melebihi 110% dari Harga Satuan HPS, setelah
dilakukan klarifikasi.
Untuk definisi tentang Harga Timpang, sudah sangat jelas
dalam penjelasan pasal 92 ayat 1 huruf c, yaitu Harga Satuan Penawaran yang
memenuhi syarat:
·
Harga Satuan Penawaran melebihi 110% dari Harga Satuan HPS
·
Telah diklarifikasi dan disetujui kepada si pemilik
penawaran.
Jika tidak memenuhi 2 hal ini maka tidak dapat dikatakan
sebagai harga timpang. Sehingga jika dibuat ilustrasi tabel yang dimaksud harga
satuan timpang adalah :
Potensi Harga Timpang ada pada Harga
Satuan Penawaran dibandingkan dengan Harga Satuan HPS sebelum menjadi Harga
Satuan Kontrak. Akan diakui sebagai Harga Timpang jika disepakati dan siap
untuk dijadikan Harga Satuan Kontrak antara PPK dan Penyedia. Inilah harga yang
diperjanjikan sejak awal dalam dokumen pengadaan barang/jasa. Kenapa Harga
Timpang harus diklarifikasi dan disetujui? Agar sebelum kontrak ditandatangani
semua pihak sadar betul akibat yang diperjanjikan ketika terjadi Harga Timpang.
Harga Satuan Timpang adalah Harga yang Wajar
Pasal 66 ayat 5 huruf a menyatakan bahwa HPS digunakan
sebagai alat untuk menilai kewajaran penawaran termasuk rinciannya. Jadi
Penawaran yang wajar adalah:
Harga Penawaran (Total) nya “sah”. Harga Penawaran yang Sah
adalah yang Total Harga Penawaran-nya tidak melebihi HPS (Total HPS) Pasal 66
ayat 5 huruf b.
Harga penawaran (Total) dibawah 80% HPS yaitu
harga penawaran yang kewajaran harganya benar dan telah diklarifikasi, kemudian
penyedia bersedia menaikkan jaminan pelaksanaan pekerjaan menjadi 5% dari HPS,
Pasal 66 ayat 5 huruf c dan Permenpu 7/2011 sebagaimana diubah dengan Permenpu
31/2015.
Tidak ada sama sekali klausul peraturan
yang menyebutkan kewajaran harga dinilai dari Harga Satuan! Dengan demikian
terdapatnya Harga Satuan Timpang dalam Total Harga Penawaran tidak dapat
dijadikan dasar mengatakan bahwa harga penawaran adalah tidak wajar. Termasuk
juga sangat tidak beralasan kalau ada yang menyimpulkan Harga Satuan Timpang
adalah harga yang tidak wajar sehingga perlu dinegosiasi atau diklarifikasi
untuk diturunkan senilai harga satuan HPS.
Patut juga dicermati logika dasar kenapa
Harga Timpang adalah harga yang wajar. Yaitu karena Harga Timpang adalah satu
keniscayaan atau satu hal yang sangat-sangat mungkin terjadi. Seperti
disebutkan dalam Perpres 54/2010 pasal 66 ayat 3 bahwa Nilai total HPS bersifat
terbuka dan tidak rahasia sedang Rincian Harga Satuan dalam perhitungan HPS
bersifat rahasia, kecuali rincian harga satuan tersebut telah tercantum dalam
Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DIPA/DPA).
Ketika rincian Harga Satuan HPS adalah
rahasia maka sangat mungkin sekali Harga Satuan Penawaran akan lebih rendah
atau lebih tinggi dibanding harga satuan HPS. Ketika kemungkinan ini dapat saja
terjadi dan sudah diatur melalui peraturan perundangan, maka terjadinya Harga
Timpang bukanlah dosa yang kemudian harus diharamkan.
Perlakuan
Terhadap Harga Satuan Timpang
Ketika Harga Timpang telah disepakati
menjadi bagian kontrak maka meleburlah harga timpang tersebut menjadi Harga
Satuan Kontrak dimana didalamnya terdapat perlakuan-perlakuan yang telah
disepakati dalam dokumen pengadaan.
Lalu bagaimana semestinya perlakuan
terhadap Harga Timpang? Perlakuan terhadap Harga Timpang ini tentunya harus
tertuang secara jelas dalam Dokumen Pemilihan yang disusun pengguna jasa, dalam
hal ini PPK, dan dituangkan oleh Pokja ULP.
SHOW CAUSE MEETING (SCM)
Bagi mahasiswa teknik sipil dan para pekerja
konstruksi harus tahu istilah dari pengertian Show Cause Meeting (SCM). SCM
secara deinitif diartikan sebagai Rapat Pembuktian. Dan yang akan kita bahas
disini adalah Rapat Pembuktian Keterlambatan pada pekerjaan konstruksi.
Keterlambatan tersebut bisa terjadi karena kendala dari segi material/bahan,
kurangnya pekerja dilapangan dan kondisi alam.
Show Cause Meeting (SCM) diadakan oleh Pejabat Dinas terkait dalam hal ini Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Rapat diadakan
dikarenakan adanya kondisi kontrak kerja yang dinilai kritis dan berpotensi
waktu pelaksanaan tidak sesuai dengan jadwal penyelesaian pekerjaan yang
telah dibuat.
Karena
kontrak dinyatakan kritis dalam hal penanganan pekerjaan, maka kontrak kritis
harus dilakukan dengan rapat pembuktian SCM. Pejabat Dinas dalam hal ini PPK
harus memberikan peringatan tertulis atau dikenakan ketentuan tentang kontrak
kritis kepada kontraktor mengenai keterlambatan
dalam melaksanakan pekerjaan.
A. Ketentuan Kontrak Kritis sebagai berikut:
Sesuai dengan Permen PU No. 07/PRT/M/2011 Buku PK 06A-BAB VII B6 Angka 39.2, kontrak dinyatakan kritis apabila:
Sesuai dengan Permen PU No. 07/PRT/M/2011 Buku PK 06A-BAB VII B6 Angka 39.2, kontrak dinyatakan kritis apabila:
1. Periode
I (rencana fisik pelaksanaan 0% - 70% dari kontrak), realisasi fisik
pelaksanaan terlambat lebih besar 10% dari rencana.
2. Periode
II (rencana fisik pelaksanaan 70% - 100% dari kontrak), realisasi fisik
pelaksanaan terlambat lebih besar 5% dari rencana.
3. Rencana
fisik pelaksanaan 70% - 100% dari kontrak, realisasi fisik pelaksanaan
terlambat kurang dari 5% dari rencana dan akan melampui tahun anggaran
berjalan.
B. Penanganan Kontrak Kritis sebagai berikut:
Penanganan Kritis Periode I dan Periode II
Penanganan Kritis Periode I dan Periode II
1. Pada
saat kontrak dinyatakan kritis, Direksi pekerjaan menerbitkan surat peringatan
kepada kontraktor/penyedia dan selanjutnya menyelenggarakan Show Cause Meeting (SCM).
2. Dalam
SCM PPK, Direksi pekerjaan, direksi teknis dan penyediah membahas dan
menyempakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh Penyediah dalam
periode waktu tertentu (uji coba pertama) yang dituangkan dalam Berita Acara SCM Tingkat Pertama.
3. Apabila
penyediah gagal pada uji coba pertama, maka dilaksanakan SCM II yang membahas
dan menyempakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh Penyedia dalam
periode waktu tertentu (Uji coba kedua) yang dituangkan dalam Berita Acara SCM
II.
4. Apabila
Penyedia gagal pada uji coba tahap kedua, maka diselenggarakan SCM III yang
membahas dan menyempakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh
Penyedia dalam periode waktu tertentu (uji coba ketiga) yang dituangkan dalam
Berita Acara SCM III.
5. Pada
setiap uji coba yang gagal, PPK harus menerbitkan surat peringatan kepada
Penyedia atas keterlambatan realisasi fisik pelaksanaan pekerjaan.
Dalam
hal setelah diberikan SCM III yaitu Rencana fisik pelaksanaan 70 % - 100 % dari
kontrak, realisasi fisik pelaksanaan terlambat kurang dari 5 % dari rencana dan
akan melampui tahun anggaran berjalan dan penyedia tidak mampu memenuhi
kemajuan fisik yang sudah ditetapkan, PPK melakukan rapat bersama atasan PPK
sebelum tahun anggaran berakhir, dengan ketentuan:
1.
PPK dapat
memberikan kesempatan untuk menyelesaikan sisa pekerjaan paling lama 50 (lima
puluh) hari kalender dengan ketentuan, penyedia secara teknis mampu
menyelesaikan sisa pekerjaan paling lama 50 (lima puluh) hari kalender.
2.
PPK dapat langsung
memutuskan kontrak secara sepihak dengan mengesampingkan pasal 1266 kitab
Undang-Undang Hukum Perdata; atau
3.
PPK dapat menunjuk
pihak lain untuk melaksanakan pekerjaan. Pihak lain tersebut selanjutnya dapat
menggunakan bahan/peralatan, dokumen kontraktor, dokumen desain yang dibuat
oleh atau atas nama penyedia. Seluruh biaya yang timbul dalam pelaksanaan
pekerjaan pihak lain sepenuhnya menjadi tanggung jawab penyedia berdasarkan
kontrak awal.
Detail Enginering Design
Detail
Engineering Design (DED) dalam
Pekerjaan Konstruksi dapat diartikan sebagai produk dari konsultan perencana,
yang biasa digunakan dalam membuat sebuah perencanaan (gambar kerja) detail
bangunan sipil seperti gedung, kolam renang, jalan, jembatan, bendungan, dan
pekerjaan konstruksi lainnya.
Detail Engineering Design (DED) bisa berupa
gambar detail namun dapat dibuat lebih lengkap yang terdiri dari beberapa
komponen seperti di bawah ini:
·
Gambar
detail bangunan atau bestek bisa terdiri dari gambar rencana teknis. Gambar
rencana teknis ini meliputi arsitektur, struktur, mekanikal dan elektrikal,
serta tata lingkungan. Semakin baik dan lengkap gambar akan mempermudah proses
pekerjaan dan mempercepat dalam penyelesaian pekerjaan konstruksi.
·
Rencana
Anggaran Biaya atau RAB adalah perhitungan keseluruhan harga dari volume
masing-masing satuan pekerjaan. RAB dibuat berdasarkan gambar. Kemudian dapat
dibuat juga Daftar Volume Pekerjaan (Bill of Quantity)
serta spesifikasi dan harga. Susunan dari RAB nantinya akan direview,
perhitungannya dikoreksi dan diupdate harganya disesuaikan dengan harga pasar
sehingga dapat menjadi Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
·
Rencana
Kerja dan Syarat-syarat (RKS) ini mencakup persyaratan mutu dan kuantitas
material bangunan, dimensi material bangunan, prosedur pemasangan material dan
persyaratan-persyaratan lain yang wajib dipenuhi oleh penyedia pekerjaan
konstruksi.
·
RKS
kemudian menjadi syarat yang harus dipenuhi penyedia sehingga dapat dimasukan
ke dalam Standar Dokumen Pengadaan (SDP).
Setelah DED ini selesai akan dilanjutkan pada Tahap Pengadaan/Pelelangan
(Procurement/Tender). Tujuan dari tahap ini adalah untuk menunjuk Kontraktor
sebagai pelaksanan atau sejumlah kontraktor sebagai sub-kontraktor yang
melaksanakan konstruksi di lapangan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
tahap ini adalah PRAKUALIFIKASI yang meliputi pemeriksaan sumber daya keuangan,
manajerial dan fisik kontraktor yang potensial, dan pengalamannya pada proyek
serupa, serta integritras perusahaan. Untuk proyek-proyek milik emerintah,
Kontraktor yang memenuhi persyaratan biasanya dimasukkan ke dalam Daftar
Rekanan Mampu (DRM) dan DOKUMEN KONTRAK, sebagai dokumen legal yang menguraikan
tugas dan tangjung jawab pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Dokumen kontrak
akan ada setelah terjadi ikatan kerjasama antara dua pihak atau lebih. Sebelum
hal itu terjadi terdapat proses pengadaan atau proses pelelangan dimana
diperlukan Dokumen lelang atau dokumen tender. Jika terjadi perubahan kontrak
maka akan dilakukan Contract Change Order (CCO). Contract Change Order (CCO)
adalah permintaan perubahan
kontrak yang nantinya digunakan
sebagai kuasa untuk mengubah ruang lingkup pekerjaan.
Berikut ini adalah tahapan penentuan
CCO:
Melihat diagram diatas bisa kita fahami bahwa
addendum dan amandemen adalah produk lanjutan dari proses CCO, jika terjadi CCO
maka akan terjadi Addendum atau Amandemen sebaliknya jika terjadi Adedndum atau
amandemen belum tentu di dahului oleh CCO, bila perubahan hanya menyangkut
perubahan dokuem DKH, SSUK, SSKK, Spesifikasi dan gambar namun tidak
merubah pasal pada pokok perjanjian ada yang menyebut Addendum sedangkan ketika
terjadi perubahan pasal pasal pada pokok perjanjian ada yang menyebutnya dengan
amandemen, dengan pehaman lain dapat kita simpulkan kalau CCO dan Addendum pada
perubahan sisi substansi pekerjaan sedangkan Amandemen pada sisi administrasi
kontrak.
Pelaksanaan CCO sehingga menghasilkan Addendum
ataupun Amandemen kontrak bukanlah sebuah proses sederhana. Proses perubahan
ini banyak melibatkan pihak baik pada tahap pemeriksaan, penelitian sampai pada
tahap persetujuanya, khususnya pada kontrak pekerjaan kontruksi. Sangat
diperlukan analisis dan kajian yang komprehensif dalam tiap fase perubahan
kontrak ini, untuk proses dan tahapan yang komplek PPK dapat dibantu oleh Tim
Teknis/Tim Peneliti Kontrak.
Setidaknya ada 3 tahapan yang harus dilalui dalam
proses perubahan kontrak yaitu :
1.
Identifikasi
masalah dan pemeriksaan perubahan
2.
Pengujian
dan penelitian
3.
Persetujuan
dan panandatangan addendum kontrak
Tahapan identifikasi diperlukan karena tidak semua
usulan perubahan kontrak ini dapat disetujui oleh pihak yang terkait dengan
pengadaan dalam hai ini PA/KPA dan PPK, analisis biaya manfaat mutlak
diperlukan dalam melakukan pertimbangan atas perstujuan perubahan dengan tetap
mempertimbangkan dan memperhatikan pemenuhan terhadap ketentuan peraturan yang
berlaku dan menggunakan prinsip prinsip pengadaan efektif, efesien, transparan
dan akuntabel. Identifikasi perubahan sudah bisa dilakukan PPK dan Tim pada
tahap awal pelaksanaan kontrak, Pre Contructtion Meeting (PCM)
menjadi entri poin awal, karena ditahap ini akan terjadi
kesepakatan-kesepakatan antara para pihak yang bertanda tangan di kontrak
dengan pihak terkait lain, tentang kesesuaian kontrak dengan aturan ataupun
perubahan kesepakatan lain yang belum tertuang dalam kontrak.
Selanjutnya ditahap pelaksanaan, Sow Contruction Meeting (SCM) menjadi poin
berikutnya dalam melakukan identifikasi perubahan perubahan yang mungkin
terjadi dalam pelaksanaan kontrak, proses pengendalian kontrak inilah
yang mutlak dilakukan PPK selaku owner pekerjaan untuk menghasilkan output
pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan atau pun akan melakukan perubahan
kontrak dengan tetap mengedepankan prinsip prinsip pengadaan tadi.
Tahapan pengujian dan penelitian dilakukan PPK
untuk melihat kesesuaian usulan perubahan dengan ketentuan yang berlaku, mulai
dengan pengujian dengan pokok pokok perjanjian dalam kontrak, pengujian dengan
aturan perpres dan petunjuk teknis serta pengujian dengan ketentuan terkait
lainnya. Ditahap pengujian ketika ditemukan nanti item perubahan pekerjaan baru
yang harus dikerjakan guna menyelesaikan seluruh pekerjaan, namun harga
satuan belum tertuang/tercantum dalam kontrak maka PPK harus membuat HPS baru
yang dikalkulasikan secara keahlian berdasarkan data yang dapat dipertanggung
jawabkan selanjutnya dilakukan negosiasi untuk item pekerjaan baru tersebut.
Setelah proses pengujian ini dilakukan barulah PPK
bisa melakukan penandatanganan perubahan/Addendum kontrak, satu hal yang musti
diingat adalah nilai perubahan maksimal pada saat terjadi perubahan kontrak
adalah 10% dan ketersediaan anggaran. Sesuai dengan pasal 54 butir 2 peraturan
presiden nomor 16 tahun 2018.